Michel Foucault merupakan sosok yang unik dan agak sukar dipahami. Meskipun demikian, Foucault memberikan pengaruh dan sumbangan yang besar dalam bidang sosiologi, kebudayaan, politik, dan literatur. Foucault juga merupakan salah satu ilmuwan yang paling dibicarakan di era abad ke-20. Pemikiran-pemikiran Foucault cenderung agak sukar dipahami karena pemikirannya terus berkembang dan berubah dari waktu ke waktu.Oleh karena itu, cara terbaik untuk memahami pemikiran Foucault adalah dengan memahami setiap pemikiran tersebut sebagai sebuah bagian yang berbeda namun masih behubungan dengan pemikiran yang lain.
Berikut ini akan dijelaskan pemikiran-pemikiran Foucault mengenai diri, identitas dan seksualitas, dan bagaimana tentang ketertarikannya terhadap cara hidup (modes of living) yang dapat membantu membangun pemahaman kita mengenai identitas dan media dalam masyarakat modern.I. Foucault on Power Dalam pandangan tradisional Marxist, pengertian kekuasaan sangat identik dengan “kelompok dominan” atau posisi seseorang berdasarkan profesi dan materi yang dimilikinya. Yang dimaksud dengan kelompok dominan di sini yaitu para pemilik perusahaan, bos, pengusaha, dan pemegang jabatan-jabatan tinggi lainnya. Mereka yang memiliki jabatan tinggi atau berasal dari keluarga yang terpandang dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki kekuasaan (powerful). Kemudian, dalam pandangan kaum feminis, makna kekuasaan sendiri dibagi berdasarkan gender.
Dalam budaya patriarki, kaum pria dipandang selalu menjadi sosok yang lebih kuat dibandingkan dengan kaum wanita. Namun pandangan tradisional Marxist dan feminis ternyata berbeda dengan pandangan Foucault.Menurut Foucault, kekuasaan bukan dilihat dari apa yang dimiliki oleh seseorang. Kekuasaan juga bukan dilihat dari posisi yang diduduki oleh orang tersebut. Kekuasaan bagi Foucault merupakan sesuatu yang sangat dinamis.
Kekuasaan tersebut dapat tumbuh secara sangat sederhana, sesederhana hubungan yang terjalin antar individu, relasi, jaringan, bahkan dalam hubungan pertemanan informal pun dapat terjadi pandangan kekuasaan di dalamnya. Seperti yang dijelaskan secara eksplisit oleh Foucault, “power is everywhere; not because it embraces everything, but it comes from everywhere… power is not an institution, and not a structure;” Sehingga setiap orang dapat memiliki kekuasaan yang sangat elastis dan tidak kaku berdasarkan hubungan atasan-bawahan saja.Dibalik pernyataannya, Foucault juga menyadari pada kehidupan sehari-hari pandangan tentang makna kekuasaan tidak semudah dan sesederhana itu. Pada kenyataannya, dalam kehidupan kita, kekuasaan memang diyakini benar berdasarkan posisi seseorang, seberapa banyak jumlah materi yang dimilikinya, apa jabatannya, bagaimana kehidupan sosial ekonominya, dan berbagai aspek lainnya. Bagaimanapun juga, seorang pemimpin atau atasan seolah memiliki kekuasaan atau aksi-aksi kegiatan kehidupan yang lebih luas dibandingkan dengan karyawan atau bawahannya.Bagaimanpun juga orang yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang tinggi tetap dipandang lebih berkuasa dibandingkan dengan masyarakat biasa.
Begitu juga dalam hubungan romantisme yang terjalin antara manusia. Meskipun bagi Foucault kekuasaan dapat muncul dimanapun dan kapanpun, faham feminisme tentang kaum lelaki yang memiliki image yang lebih kuat dibandingkan dengan kaum wanita juga terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Sekuat atau seindependen apapun seorang perempuan, pasti juga ingin memiliki pasangan (lelaki) yang kuat dan dapat diandalkan. Begitulah Foucault menggambarkan makna kekuasaan.
Tidak hanya pandangan mayoritas yang dapat disorot dalam menanggapi makan kekuasaan, tetapi juga dapat berkonsentrasi pada hubungan minoritas atau individu secara sederhana, bahwa kekuasaan dapat muncul dimana saja dan dalam konteks yang lebih dinamis dibandingkan hanya dengan posisi atau jabatan seseorang.II. Power and ResistanceFoucault berpendapat bahwa kekuasaan dengan daya tahan (resistensi) merupakan dua konsep yang tidak terpisahkan. “Dimana ada kekuasaan, disitu pula ada resistensi” (Foucault, 1998: 95). Ada beberapa bagian yang penting dari pendekatan tentang kekuatan ini. Inti dari daya tahan terdapat “dimanapun di jaringan kekuatan” (ibid), dan daya tahan tidak terjadi hanya pada satu bagian saja, namun dapat terjadi di bagian manapun.
Seperti halnya kekuasaan yang mengalir melalui jaringan kekuasaan, maka kumpulan resistensi pun dapat muncul darimanapun. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa resistensi akan selalu muncul sebagai sesuatu yang tidak teratur dan tidak tertata.Pandangan Foucault di atas mungkin terdengar seperti sebuah teori yang abstrak, tapi hal ini sangat mudah untuk diamati di dunia nyata. Seperti yang kita ketahui dari pengalaman bahwa dimanapun kekuasaan perlu ditunjukkan, digunakan untuk membuat suatu hal menjadi nyata, maka keluhan tentang ketidakpuasan akan selalu menyertai kekuasaan tersebut. Contoh dari hal tersebut misalnya dapat kita lihat jika seorang bos sebuah perusahaan memberikan surat peringatan kepada pegawainya dengan tujuan agar pegawai tersebut bekerja dengan lebih giat, maka tetap akan timbul kemudian justru perasaan dendam dan ketidakpuasan si pegawai tersebut kepada bosnya.
Contoh tersebut membantu kita untuk menunjukkan mengapa Foucault berpendapat bahwa kekuasaan itu produktif. Selagi pandangan tradisional tentang kekuasaan memandang penggunaan kekuasaan sebagai sesuatu hal yang negatif, Foucault justru memandang penggunaan kekuasaan memiliki konsekuensi positif atau negatif, tapi yang terpenting adalah menghasilkan (produktif) dan membuatnya menjadi sesuatu.Pengadaan kekuasaan di sisi lain sesungguhnya menghasilkan dan menuntun liberalisasi gerakan kaum gay di abad 20. Pendekatan tentang sex seharusnya tidak hanya dipandang sebagai bentuk dominasi saja.
Selanjutnya, Foucault menyarankan bahwa karena pada kenyataannya dengan terus menerus memperdebatkan tentang sex, justru perdebatan tersebut akan membuat isu tentang sex ter-blow up dan menjadi isu yang populer di masyarakat.III. Sex and IdentityDi dalam buku The History of Sexuality, Foucault mengusir anggapan tentang seks sudah menjadi ekspresi kebebasan, bukan menjadi bagian masalah dalam kehidupan, hingga akhirnya seks menjadi sebuah perilaku yang dianggap tabu, tersembunyi dari pandangan publik. Di abad ke 17, seks menyatakan bahwa agama Kristen memiliki pandangan tentang seks, seks merupakan sesuatu yang kejam termasuk dalam kaitannya dengan reproduksi. Pada abad ke 18, seks terkait dengan kebijakan politik dan ekonomi tentang “populasi” (Foucault, 1998: 20-25).
Seks menjadi isu sosial dan politis hingga saat ini. Isu-isu tersebut antara lain remaja hamil, AIDS, pendidikan seks dan pornografi. Di awal abad ke 20, pandangan tentang seks yang menjadi poros identitas selanjutnya memperkuat pandangan Freudian dan perspektif psikoanalisis. Kemudian seks menjadi masalah dalam perkembangan anak-anak, menjadi sumber atau akar permasalahan yang kini muncul. Buku Freud membahas solusi atas masalah ini. Buku Freud tersebut tidak cukup dibaca oleh para penggemar Freud dan klien psikoterapi saja.
Buku itu tidak hanya membahas tentang seks melainkan pengetahuan umum yang sebelumnya dapat dibaca pada artikel majalah, seri-seri TV, atau film-film Woody Allen.Muncul pertanyaan apakah seks adalah identitas dalam diri? Jawabannya ya. Seperti sudah dibahas sebelumnya di dalam media massa seperti majalah, surat kabar, tv menyatakan identitas seksual merupakan hal penting yang dapat membuat senang seseorang. Media mengangkat banyak hal-hal tentang seks.
Media dalam banyak pembahasannya menyarankan untuk:• Mengerti apa itu seks• Melakukan seks sesering mungkin• Menemukan jawaban untuk berbagai permasalahan seks• Mencari kepuasan seksual dengan pasangan – atau mencari pasangan lain jika pasangan tersebut tidak bisa memberikan kepuasan seksual.Begitu banyak isu tentang seks yang dibahas dalam talkshow, serial drama, Koran dan media lainnya. Pesan-pesan tentang seks makin hits. Hingga muncul anggapan pesan-pesan tersebut berdampak langsung pada publik. Namun jika ditelaah lebih dalam media bukan dengan semata-mata menciptakan berita-berita tersebut. Melainkan media hanya menangkap kejadian-kejadian yang memang ada di masyarakat.
Media tinggal memindahkan fenomena itu ke dalam sebuah berita.Antara tahun 1961-1999, tingkat perceraian di Inggris dan Wales kian tumbuh dari 25.400 menjadi 144.600 per tahun. Pertumbuhan tingkat perceraian ini menjadi salah satu dampak dari maraknya pemberitaan seputar seks. Munculah kelompok orang-orang yang heteroseksual.
Orang-orang ini kurang dapat menjaga kesetiannya. Mereka dengan mudah berpaling dari pasangan sebelumnya ke pasangan lainnya. Mereka melakukan penyimpangan ini semata-mata dengan alasan mencari kepuasan seksual seperti yang banyak di bicarakan di media massa.Presentasi perceraian meningkat tajam, kemudian mereka memutuskan untuk kembali menikah.
Namun pernikahan berjalan bukan atas dasar romantisme dan percintaan, mereka hanya mengingkan kepuasan seksual mereka dengan berganti pasangan yang lebih baik dan memuaskan dari pasangan sebelumnya. Perkembangan perjalanan seksualitas berkembang, bahwa ikatan pernikahan dirasa mengikat. UK Populations Trends melaporkan catatan: kecenderungan seperti ini terus berjalan stabil hingga ¼ abad. Hingga akhirnya banyak dari sebagian masyarakat tidak mengingkan pernikahan.
Mereka cenderung takut jika mereka tidak dapat menemukan kecocokan dengan pasangan mereka dan berakhir dengan perceraian.IV. Foucault’s EthicsAnthony Giddens merupakan salah seorang ilmuwan yang memiliki ketertarikan dalam kajian gaya hidup (lifestyle) tentang ide bahwa dalam konsep modernitas seseorang harus menentukan pilihan tentang bentuk dan karakter kehidupan dan identitasnya. Beberapa tahun sebelum Giddens menyampaikan pendapatnya tersebut, Michel Foucault sudah lebih dahulu mengajukan pertanyaan yang sama meskipun dengan penekanan yang berbeda.
Dalam pendapatnya tersebut, Foucault berfokus pada etika dan penting untuk memahami bahwa etika di sini tidak dimaknai secara harafiah sebagai kode moral saja, melainkan justru dipahami sebagai hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, etika di sini diartikan sebagai kepedulian atau perhatian seseorang terhadap dirinya sendiri, menetapkan standar bagaimana dirinya ingin diperlakukan, dan bagaimana mereka akan memperlakukan dirinya sendiri. Etika dideskripsikan sebagai “jenis hubungan yang harus dimiliki oleh seseorang dengan dirinya sendiri” (Foucault, 2000: 263). Jenis hubungan tersebut tentunya bersifat personal, namun bagaimanapun hubungan tersebut tetaplah hubungan yang penting.Etika yang dimiliki oleh satu orang dengan orang yang lain mungkin berhubungan, namun tidak mungkin sama persis. Contohnya, etika masyarakat melarang adanya perselingkuhan dan perselingkuhan tersebut misalnya dilakukan dengan melakukan hubungan seks dengan orang lain yang bukan pasangan kita.
Akan tetapi, etika individu memungkinkan untuk membenarkan perselingkuhan tersebut selama pasangan kita tidak mengetahui perselingkuhan tersebut, tidak merugikan orang lain, dan dilakukan atas dasar suka sama suka.Pandangan terhadap etika tersebut dalam kenyataannya juga dilakukan oleh beberapa figur publik seperti Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat. Bill Clinton bersikeras menolak tuduhan perselingkuhan dan hubungan seksual yang dituduhkan kepadanya dan sekretarisnya, Monica Lewinsky karena hubungan seksual yang terjadi adalah hubungan seks oral dan bukan hubungan seks penetratif.V.
Technologies of the SelfJika etika diartikan sebagai kepedulian seseorang terhadap diri –serangkaian ide internal atau kelonggaran aturan- maka teknologi dari diri sendiri adalah apa yang sebenarnya tentang hal ini: bahwa cara manifestasi etika yang dimiliki seorang individu diwujudkan dalam pola pikir dan tindakan mereka. Definisi lainnya adalah teknologi dari diri sendiri mengacu pada cara di mana orang menempatkan diri mereka dalam masyarakat dan cara-cara di mana wacana yang tersedia dapat mengaktifkan atau mencegah berbagai praktik diri.Pendefinisian teknologi dari diri sendiri sesungguhnya cukup sulit untuk dirumuskan secara pasti dalam beberapa kalimat. Oleh karena itu, dalam website Foucault tentang pandangan ini (www.theory.
org.uk), Foucault menampung pendapat-pendapat para user websitenya tentang rumusan definisi tentang teknologi dari diri sendiri. Berikut adalah beberapa definisi terbaik yang diberikan oleh user:• Teknologi dari diri adalah serangkaian teknik yang memungkinkan individu untuk bekerja pada diri mereka dengan mengatur tubuh mereka, pemikiran mereka dan perilaku mereka. ( Jennifer Webb, Queensland Art Gallery)• Teknologi dari diri sendiri adalah metode yang digunakan oleh orang-orang sehingga bagaimana mereka akan dianggap sebagai “diri mereka atau pribadi” oleh orang lain dan diri mereka sendiri. (Ernst Buchberger, UniversitY of Vienna)• Teknologi dari diri adalah mekanisme yang digunakan oleh individu dan masyarakat, baik atau buruk, yang mengabadikan konsumsi publik dan regulasi individualitas.
(Jessica Matthews, Sarah Lawrence College)Jadi mungkin bisa lebih dipersingkat lagi bahwa teknologi dari diri adalah suatu pelatihan (meliputi internal dan eksternal) untuk etika (internal) kita. Etika tersebut antara lain meliputi rangkaian standar kita untuk hidup menjadi sosok individu yang seperti apa.Foucault tertarik pada sikap-sikap hidup terdahulu dan teknologi dari diri sendiri menunjukkan dari sejarah bahwa orang-orang selalu memiliki pertanyaan yang hampir sama : “bagaimana seharusnya saya hidup?”, “dengan siapa seharusnya saya berhubungan?”, “bisakah saya menemukan identitas diri yang nyaman?”. Teknologi diri sendiri merupakan suatu cara melihat bagaimana memiliki makna dalam menjadi seseorang.